Pas Band Cuek Dicap Band Klinikus

21.5.11


Jakarta - Setiap ada kesempatan, Pas Band selalu ditunjuk sebagai salah satu band yang mengisi acara klinik musik. Yukie (vokal), Trisno (bass), Beng Beng (gitar) dan Sandy (drum) pun tak pernah melewatkan kesempatan itu.

"Kalau klinik kita bawain lagu juga, cerita tiap instrumennya gimana, kita juga cerita perjalanan karir, perjalanan musik secara luas," ujar Yukie kepada detikhot ditemui baru-baru ini.

Dicap sebagai band klinikus pun Pas Band mengaku cuek. Bagi mereka dengan memberikan klinik pada orang lain, Pas Band juga mendapatkan ilmu. Menurut band asal Bandung itu berbagi ilmu bukan hanya dari mereka yang sudah sangat ahli di bidangnya.

Walau tak menjadi klinikus secara bersamaan, para personel Pas Band kerap menjadi pengajar di banyak tempat. Bertemu orang baru dengan cerita baru dirasa Pas Band memberikan banyak inspirasi.

"Kalau dibilang jago nggak juga sih, tapi senang banget disebut gitu. Kita hanya band yang pas-pasan yang kemampuannya segitu aja. Tapi kita punya kesempatan untuk memaksimalkan yang kita punya. Nggak semua orang punya kesempatan itu," jelas Yukie ramah.
(yla/yla)

Baca Selengkapnya »»

Pas Band Tolak Tren RBT


Pas Band lama tak eksis. Sebenarnya mereka masih tetap bermusik, meskipun diakui jika tahun-tahun ini adalah masa sulit bagi mereka. “Kondisi musik Indonesia sekarang sedang laku-lakunya ring back tone dan kami enggak mau ikuti tren itu. Itu yang jadi kendala,” kata vokalis Pas Band, Yukie, ditemui di Hard Rock Cafe, Jakarta, Kamis (15/4/2010).

Dia mengatakan masing-masing personel Pas Band diberi kebebasan untuk berkreasi. Itulah faktor yang menyebabkan kemampuan musik mereka tetap terasah sebagai musisi. “Tapi terus terang, saat ini adalah masa tersulit dan terberat sepanjang perjalanan Pas Band,” katanya.

Yukie mengakui jika kondisi musik Indonesia menjadi semacam pembunuhan karakter buat mereka. Apalagi Pas Band juga punya banyak waktu senggang dan sibuk masing-masing, sehingga membuat mereka senggang. “Dan ternyata, secara personal masih laku dijual. Beng-Beng jadi produser, Trisno sibuk usaha merchandise, Shandy sibuk MC dan penyiar radio, dan sama saya juga,” katanya.

Namun, Yukie membantah jika Pas Band akan bubar karena kerenggangan seperti saat ini. “Saya pribadi tidak mau berpikir terlalu jauh sampai bubar. Toh bukan kami yang buat seperti ini,” ketusnya sinis.[fjsr]

Baca Selengkapnya »»

Bengbeng "Pas Band" Tak Mau Lepas "Istri" Kedua


Ada satu barang kesayangan Bengbeng, gitaris Pas Band, yang tak akan dijual atau dilelangnya sekali pun dalam kegiatan penggalangan dana bantuan kemanusiaan, seperti Unite for Japan, konser peduli Jepang, yang digelar pada Minggu (17/4/2011) di Jakarta. Barang itu adalah gitar elektrik dengan body bermotif zebra.

"Wah jangan (dilelang), itu sudah jadi soulmate saya," kata Bengbeng kepada Kompas.com sebelum manggung bersama Ian Antono (gitar), Eet Sjahranie (gitar), Lilo "KLA" (gitar), dan Jelly Tobing (drum) dalam konser tersebut.

Bagi Bengbeng, Si Zebra itu telah mencatat sejarah bersama karier musiknya. "Saya punya itu dari 1991, sewaktu Pas masih jadi band kampus," cerita Bengbeng. "Saya banyak gitar yang harganya 40 kali lipat dari harga gitar zebra itu, tapi enggak pernah saya pakai," ujarnya.

Secara apik Bengbeng merawat Si Zebra. Kadang, selotip membalut body gitar itu. "Itu karena saya sering main sambil memutar gitar itu. Diselotip biar enggak lepas saja," jelasnya.

Si Zebra boleh dibilang merupakan istri keduanya. "Ya ya, begitulah," ujarnya lalu tertawa.

Baca Selengkapnya »»

Sandy PAS Band: Kekompakan Media yang Bikin Musik Indonesia Jadi Seragam!

19.5.11


Jakarta - Sebagai seorang pemain drum Pas Band sejak album Ketika (2001) dan sekaligus penyiar radio, tentunya Sandy Andarusman telah mengamati industri musik secara dekat. Ia memulai karir sebagai penyiar di I-Radio Jakarta pada Mei 2005 untuk program “I-Rock” yang memutarkan lagu-lagu dari band-band cadas Indonesia—seperti: Siksakubur, Tengkorak, Betrayer—selama 1 jam.


Sekitar tiga tahun kemudian program tersebut diberhentikan lantaran, menurut Sandy, “pendengar musik-musik keras seperti itu rata-rata bukan orang-orang yang aktif mengirim SMS. Jadi mungkin dianggapnya tidak mendatangkan uang buat radio.” Namun, hingga kini ia masih menjadi penyiar untuk radio itu, memandu program pada jam prime-time bernama Sore-Sore.


Rolling Stone sempat mewawancarai Sandy pada Senin (28/3) sore di radio tempat ia bekerja itu, untuk mengetahui seperti apa perubahan tren musik di matanya sebagai penyiar radio dan sekaligus pemain drum untuk sebuah band dengan genre yang saat ini tengah termarjinalkan di industri musik Indonesia.


Selama 6 tahun menjadi penyiar radio seperti apa perubahan tren musik Indonesia dalam pandangan Anda?


Kalau gue mau jujur sebenarnya di awal-awal gue masuk itu lagu-lagunya Edane, Netral, Pas Band, God Bless sering banget diputar. Gue sebagai seorang musisi yang juga penyiar radio rada prihatin sebenarnya kalau ada kekompakan di media yang bikin musik Indonesia sekarang jadi stereotype. Bahkan makin ke sini kita jadi nggak pernah tahu lagi sosok musisinya itu sendiri. Jadi, lo dengar sebuah lagu, lo suka, tapi lo nggak tahu siapa yang menyanyikan. Cuma tahu namanya doang. Fenomena ini dimulai dari Kangen Band. Bahkan waktu Afgan muncul, gue nggak tahu Afgan mukanya yang mana. Untung ganteng. [tertawa]
Tapi, positifnya, era ini adalah era musisi ataupun penyanyi yang nggak ganteng sebenarnya. Orang sekarang lebih melihat karya dibanding sosok. Kalau dulu, ‘Dewa rilis album, yang mana albumnya? Padi rilis album, yang mana albumnya?’ Kalau sekarang nggak. ‘Ah, lagu asyik nih.’ Lo dengerin. Lo suka. Pada saat lo lihat orangnya jelek juga lo udah nggak peduli. Karena lo suka lagunya. Positifnya itu. Tapi yang negatifnya adalah musik Indonesia jadi stereotype. Itu juga, kalau menurut gue, karena pandangan yang salah terhadap pendengar dan penikmat musik. Entah salah survey-nya atau apa, menurut mereka musik-musik yang diterima masyarakat Indonesia adalah musik-musik yang memang hanya sekadar easy listening. Bukan karena kekayaan musikalitasnya.
Karena urutannya gini, sebuah karya masuk chart radio, baru bisa diputar di TV. Barometernya kan di radio. Sementara radio nggak boleh memutarkan lagu-lagu yang terlalu ribet buat pendengar. Bahkan gue sendiri nggak boleh memutarkan lagu-lagu Pas Band kayak “Impresi”, “Jengah”, “Bocah”. Dan akhirnya band-band yang setipe kayak gue, kayak Edane yang sebenarnya karyanya luar biasa bagus, karena nggak boleh diputar akhirnya tidak masuk chart. Tidak masuk chart akhirnya tidak masuk TV. Tidak masuk TV akhirnya tidak terekspos dengan baik dan akhirnya cuma menjadi sekadar sebuah karya yang terdokumentasi dalam sebuah CD. Tapi tidak mendapatkan lahan yang sama untuk diekspos. Tidak mendapatkan popularitas yang sama.


Musik yang terlalu keras tidak boleh masuk radio, itu ada aturannya, ya?
Ada. Mungkin tidak secara tertulis. Tapi dengan playlist yang sudah diatur. ‘Nggak boleh, karena menurut survey kalau memutarkan lagu keras, pendengar akan pindah channel.’ Come on! Musisi Indonesia diakui di Asia. Dan budaya Indonesia sangat kaya dan beragam. Penikmat musik yang benar-benar punya taste yang sangat bagus pasti akan sangat sedih kalau ada anggapan bahwa musik Indonesia itu adalah musik yang ditayangkan di TV pagi-pagi. Musik Indonesia itu nggak kayak gitu kali. Pendengar musik juga nggak semuanya pengen nasi goreng. Gue pengen ketoprak. Gue pengen karedok. Gue pengen pempek. Jangan cuma nasi goreng doang dong bikinnya! Gue nggak bilang kalau musik yang pagi-pagi itu jelek. Nggak! Tapi apakah cuma segitu doang ragam musik Indonesia?


Saat tampil di MTV Staying Alive 2010 lalu, Pas Band membawakan lagu “Impresi” pada saat off-air. Apakah itu karena mereka menganggap lagu “Impresi” terlalu keras untuk ditayangkan?
Begini, begini… Orang juga sebenarnya musti melihat bahwa cara menikmati sebuah musik itu bukan cuma dengan lihat di TV yang playback. Antara mulutnya dengan suaranya juga kadang-kadang suka beda. [tertawa] Gue prihatin. Come on… Cara menikmati sebuah musik yang paling benar adalah dengan lo beli CDnya, lo nikmati di rumah versi aslinya, dan lo lihat versi livenya itu di panggung besar dengan aransemen yang bisa saja beda. Apapun jenis musiknya.
Sekarang kita dikasih lihat bahwa untuk menikmati sebuah musik adalah dengan versi TVnya, pemainnya main, playback, lipsync, kadang-kadang mainnya juga asal-asalan. [tertawa] Gue sebagai pemusik kesal musik Indonesia dibikin-bikin kayak gitu. Dan lo lihat deh, pada saat gue main di Senayan itu, kita memainkan “Impresi”. “Sejuta Harapan”, “Yesterday”. Karena penonton memang tahu lagunya, mereka menggila.
Soal penjualan CD yang sekarang menurun. Kalau dulu bisa dibilang fungsi radio adalah sebagai media promosi untuk penjualan album fisik.

Dengan kondisi seperti sekarang, menurut Anda, apa fungsi radio?

Fungsi utama radio sekarang tetap untuk mempromosikan sebuah lagu, tapi kita tidak bisa berharap masyarakat bisa tergerak untuk membeli CDnya. Untuk meningkatkan demand masyarakat untuk melihat si artis, radio tetap membantu. Tapi sekarang ada fenomena baru. Banyak orang yang mulai mengkoleksi CD-CD yang memang digarap secara baik. Gue terakhir mewawancarai Tompi, Eka Deli. Jujur, cover album mereka bagus, CDnya bagus, insert-insert-nya juga bagus. Dan itu ternyata penjualannya cukup tinggi. Berbeda dengan album-album yang dikemas secara asal-asalan, Secara penjualan benar-benar anjlok. Dan yang laku cuma bajakannya aja. Eka Deli terakhir cerita albumnya sudah terjual 90.000 kopi. 90.000 itu tinggi lho! Pas Band aja penjualan CD album yang paling tinggi, selain album Ketika, itu cuma 35.000 sampai 40.000.

Komentar Anda soal pembajakan CD album?
Kalau 10 tahun yang lalu, kita tanya semua musisi soal pembajakan mungkin mereka masih satu visi. Masih berhadap-hadapan dengan pembajak. Tapi kalau sekarang, bahkan di belakang pembajak itu ada musisi, yang ‘Hei, lo jangan berantas pembajak! Karena dengan adanya pembajak gue terekspos dengan baik, terpromosikan dengan baik.’ Bahkan ada beberapa musisi yang patokannya, ‘Wah, lagu gue udah dibajak. Pasti laku.’ Karena kalau pembajak membajak lagu lo, menurut versi pembajak lagu lo itu adalah lagu yang bisa dijual. Dan akhirnya mereka menjadikan para pembajak ini salah satu partner untuk mempromosikan album mereka. Inti sebenarnya adalah mereka ingin lagunya terpromosikan dengan baik. Dan akhirnya demand masyarakat untuk melihat mereka jadi tinggi. Makanya sekarang banyak manajemen-manajemen artis dari label, yang memotong kontrak-kontrak. Karena, begini, gue label lo artis. Gue keluar duit gede buat bikin album lo. Album kita nggak laku. Bajakannya yang banyak. Lo manggung, masa lo doang yang dapat untung? Yang rugi gue.

Jadi sebenarnya bisa dibilang para musisi dan label rekaman sudah sampai tahap putus asa juga kalau melihat pembajak sebagai agen promosi album mereka.
Iya sih. Kita sebenarnya juga sekarang sedang menunggu momen dan menunggu konsep untuk mendatangkan uang dari penjualan album. Kalau selama lima tahun terakhir kita hanya mengandalkan dari RBT, RBT, RBT… Dan sekarang lo lihat, RBT sekarang ini sudah nggak bisa lagi diharapkan. Kalau dulu, lo dengan 1 juta kopi lo bisa tajir banget. Kalau sekarang sudah nggak. Kenapa? Karena sekarang RBT sudah beralih ke pedesaan. Di kota sudah nggak musim lagi. Lo promosi di TV sampai budek juga, ‘Pakai RBT ini’, orang juga udah malas pakai. Karena gue yang bayar, yang dengar orang lain, kresek-kresek pula. Udah gitu mau Unreg nya susah banget. [tertawa] Sebenarnya sekarang tinggal menunggu satu teknologi baru yang bisa mendatangkan income buat musisi sebagai pengganti RBT.


Apa itu kira-kira?

Masih belum tahu. [tertawa] Tapi kalau dari obrolan kita sesama musisi, kita masih berharap banyak dari penjualan album fisik. Kita pengen karya musik kita bisa dihargai secara layak oleh penikmat musik. Jadi mereka bisa, ‘Gue punya album Pas Band, ini lho, dokumentasi ini.’ Jangan sampai, ‘Gue punya lagu Pas Band. Ini ada di Mp3 gue.’ Nggak begitu cara menghargai karya musik.

(RS/RS)

Baca Selengkapnya »»