Paser Pertama Di Kolong Langit

15.12.09


Suatu siang menjelang sore, antara tahun 1995, dua sahabat saya, alm.Yadi SS dan Dhani Komo, tiba-tiba muncul di kampus tempat saya kuliah tanpa ada janji terlebih dulu. Tentu ada yang istimewa, mengingat kampus Politeknik, yang terletak jauh dari kota Bandung itu mereka sambangi pas waktu enak-enaknya tidur siang. Benar saja, mereka mengajak saya untuk menghadiri Konser Pesta Pelajar, yang menurut mereka line-up-nya bakal enak dipakai headbang dan ber-moshing ria. Hari itu kebetulan saya bawa kaos Motley Crue di kantong, rencananya untuk salin kemeja sepulang kuliah, yang memang daripada bikin nyaman lebih banyak bikin saya gerah waktu mengikuti studi. Kaos Motley Crue ini dibawa tepat pada waktunya, sehingga saya langsung sepakat dan menyanggupi ajakan mereka. Sialnya, saya tidak bawa Celana Jeans. Ya, sudah, dengan celana katun dresscode mahasiswa Politeknik jurusan Niaga, dipadu-padankan dengan kaos pendek hitam Motley Crue-Dr. Feelgood, saya meluncur cabut dari kampus. Tidak lupa, menitipkan pesan kepada salah seorang kawan untuk memalsukan tanda-tangan saya pada saat mata kuliah terakhir, yang memang dibimbing oleh dosen “baik hati”, yang menurut pengalaman jarang sekali mengabsen mahasiswa yang hadir. Diantara seluruh line-up yang disebutkan bakal memeriahkan Pesta Pelajar sore itu adalah : Pas Band. Gara-gara nama band ini yang disebut paling pertama, tanpa ba-bi-bu saya langsung menyanggupi ajakan Yadi dan Dhani, sambil menafikan jadwal kuliah yang sebetulnya masih padat mulai ba’da ashar hingga menjelang maghrib itu. But, apa mau dikata, saya sudah tidak sabar menyaksikan aksi demi aksi yang bakal ditampilkan “Faith No More from Kota Kembang”, yang baru saja merilis album kedua In (No) Sensation. Sebagai Paser sejati, tentu saya tidak boleh ketinggalan menyaksikan aksi Richard, Yukie, Bengbeng dan Trisno di sore yang bakal meriah itu.

Sayalah Paser sejati, mengingat, saya menjadi Paser, jauh sebelum istilah Paser itu diciptakan untuk mengidentifikasi para fans Pas Band. Sejak Richard Mutter, eks-drummer dan founder Pas Band, masih “mendua” antara Sahara dan Pas Band, saya sudah kerap menyimak gigs demi gigs mereka, baik diatas pentas maupun tampil secara live di Radio. Pertamakali tahu band ini, waktu mereka diundang tampil live di Radio GMR, membawakan nomor evergreen hits dan nomor legendaris yang menandai sejarah awal musik independen dan underground Indonesia : Dogma. Nomor itu lain dari kebanyakan corak musik rock maupun alternative yang pernah dimainkan di Bandung, bahkan di Indonesia. Ketukan drum-nya, lengkingan vokal-nya, raungan gitar-nya, dan cabikan bass-nya, menjadi santapan baru yang sensasional bagi nafsu apresiasi saya. Bak gayung bersambut, saya dan Yadi SS, selesai menyaksikan beberapa gigs dan mendengar lagu Dogma via GMR Radio, beberapa minggu setelah itu malah menjadi saksi langsung waktu pertamakali para pramuniaga toko kaset Aquarius, menata kaset mini album Pas Band, 4 Through The Sap (Februari 1994). Girang luar biasa kami berdua, waktu menyadari siapa yang sedang memerhatikan dan sedang ikut membantu para pramuniaga menata kaset yang juga memuat best-cut, Here Forever, itu. Ya, yang berdiri dibelakang pramuniaga bertubuh kurus berkumis tipis itu adalah dua pahlawan Indie-Label Indonesia, Samuel Marudut (R.I.P) dan Richard Mutter. Niat untuk membelanjakan sisa uang jajan yang semula akan digunakan untuk melengkapi koleksi rekaman Megadeth-pun berubah, jadi membeli kaset mini album yang kini jadi monumental dalam sejarah musik negeri ini. Tentu saja, tidak hanya sekadar beli, tapi kami berdua yang masih remaja tanggung ketika itu, langsung menghampiri Samuel Marudut dan Richard Mutter untuk meminta tandatangan.

Samuel yang pertama-tama saya minta untuk menandatangani mini album itu, sambil tersenyum lebar mengangsurkan kaset yang izin industrinya masih atas nama, CV.Tropic, kepada Richard. “Tandatangan tuh, suporter Pas Band pertama nih...”katanya akrab. Sang drummer yang ternyata kalau berdiri berpostur jangkung itu, langsung meraih sampul kaset dan menandatangani cover bagian dalam, dimana terpampang foto keempat personil Pas (dari kiri ke kanan : Yukie, Bengbeng, Trisno dan Richard). Dalam foto cover bagian dalam itu, para personil Pas Band belum ada yang menjadi “Rice Man” (sebutan saya untuk orang yang gemuk), seperti sekarang. Semuanya masih tampak langsing dan kurus- terutama : Yukie dan Bengbeng. Mungkin, sebagaimana dipaparkan secara merendah oleh Richard saat menandatangani cover kaset saya, waktu itu mereka masih demikian pas-pasan (hehehe). Kelakaran itupun ditimpali dengan akrab oleh Samuel Marudut, yang entah bercanda atau tidak, mengatakan,”Itulah makanya, band ini dikasih nama Pas Band. Segalanya serba Pas...hihihi.”

Merasa bertemu dengan pribadi-pribadi yang hangat dan akrab, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada mereka berdua, tentang pada range mana Pas Band berjalur sebetulnya.”Mereka aja gak tahu sedang maenin musik apa...”kata Samuel Marudut masih dengan senyum dan candanya yang khas. Hal itu dibenarkan oleh Richard, yang sore itu mengenakan kaos hitam lengan panjang, bahwa para personil Pas Band datang dengan latar belakang berbeda, namun dalam proses kreatif-nya berusaha meleburkan semua latar belakang menjadi corak khas Pas Band.”Ada yang suka Metallica, Rush, Pearl Jam, Red Hot, musik-musik classic rock ama musik-musik tahun 80-an di Pas.”jelas Richard.”Semua unsur itu kita maenin, dan ketika itu jadi, ya begitulah, jadinya musik Pas Band.” Richard kemudian memaparkan dengan panjang-lebar, hendak kemana arah musik Pas Band pada jangka pendek dan jangka panjangnya. Richard bilang dia bakal melibatkan juga Arian ‘Puppen’, bakal memasukkan berbagai beat-beat progresif ke musik Pas, yang buat remaja tanggung seperti saya dan Yadi, merupakan ide-ide yang sangat tak terbayangkan. Tidak terasa, obrolan kami berempat yang hangat itu nyaris melewati waktu setengah jam. Dikanan-kiri kami, beberapa orang bergantian menatap Richard dan Samuel, barangkali mengira-ngira : “Pemain band mana mereka ini ?” Hehehe, menurut Yadi SS, penampilan Richard Mutter dan Samuel Marudut sore itu lebih mengarah kepada musisi Jazz daripada musisi Rock. Selesai obrolan yang didominasi oleh kelakaran Samuel dan paparan ramah dari Richard itu, kamipun berpisah diiringi pesan pendek Samuel,”Dukung terus Pas Band ya...”- sambil mengacungkan jempolnya. Ah, kenangan manis yang sungguh pahit dikenang, ketika saya dan alm.Yadi SS mendengar berita berpulangnya Bang Samuel, yang diumumkan menjelang berkabungnya Radio GMR selama sehari-semalam untuk menghormati kepergian sang Music Director, yang komposisi Art Rock-nya Topeng, sempat bikin saya yang masih bau kencur bertanya-tanya,”Aliran apa ya, kok lirik sama musiknya aneh begini ?”

**
Balik lagi ke Pesta Pelajar 1995 di GOR Saparua Bandung...

Saya, Yadi dan Dhani, tiba di GOR Saparua setelah sebelumnya menunaikan shalat ashar di Masjid Tentara (begitu kaum underground yang muslim dan rajin sholat menjuluki masjid depan GOR Saparua, yang memang terletak di halaman Komando Logistik Daerah Militer Silihwangi). Saya lupa apa saja yang kami saksikan sebelum Pas Band tampil waktu itu. Yang jelas, kami sempat memergoki seorang Aa-Aa tetangga Dhani, yang sore itu menggaet wanita bukan istrinya, di lapangan Gelora legendaris dalam sejarah musik underground kota Bandung. Dhani berkelakar, biar gak kepergok istri, jadi selingkuhnya sambil nonton Pas band, katanya. Selesai kami terpingkal-pingkal, menyaksikan sang Aa yang pura-pura tidak melihat waktu bersitatap dengan kami, nama Pas Band-pun disebut-sebut oleh sang Master of Ceremony. Wah, waktu headbang dan ber-moshing ria telah dekat, bisik hati saya. Kami bertiga yang kompak menggunakan stelan hitam-hitam, segera merapat menuju ke bibir panggung, yang telah dihuni oleh beberapa remaja berambut Mohawk, banyak metal head berambut panjang terurai, dan beberapa orang lagi yang mirip seperti kami bertiga : berusaha tampil seperti anggota Skin-Head, walau kulit agak gelap dan hidung jauh dari mancung. Tak berapa lama, Yukie-pun menyapa penonton, dan tak berapa lama pula, intro Gangster Of Love mempersatukan para Paser yang dulu masih ratusan jumlahnya itu, dalam ritual : moshing & headbanger. Salah satu hal teredan dan berkesan yang saya lakukan saat itu adalah, pas lagu Dogma jingkrak-jingkrak sambil memanggul seseorang berambut Mohawk, yang setelah konser usai baru saya sadari dia seorang, perempuan. Aksi rusuh tapi tertib dari para Paser generasi awal itu, mencapai titik kulminasinya disaat Pas Band membawakan best-cut dari album kedua, In (No) Sensation, yaitu : Impressi. Pahlawan kami, Richard Mutter, telah melepas kausnya malam itu. Ada dengung kibord mendesiskan intro Unforgiven, sementara dari balik perangkat drum-nya Richard melambai-lambaikan tangan sambil setengah berteriak : “...Metallica, metallica, metallica !” Untuk beberapa saat para Paser tercekam dalam hening. Bulu kuduk saya merinding mendengar intro nomor balada hits pertama Metallica itu. Keringat terus mengaliri tengkuk, sementara lighting telah digelapkan. Pelan-pelan cahaya lampu berwarna putih terarah pada tempat dimana Richard Mutter bersemayam, dan tiba-tiba cahaya itu pecah ketika sang drummer menghentakkan drum intro pembuka Impressi.”Duk tek duk duk duk tek...”dan para Paser-pun kembali larut dalam moshing, bertepatan dengan raungan riff yang dimainkan Bengbeng, dan hampir bertepatan juga waktunya dengan robeknya bagian pantat celana katun saya. Ah, saya acuh saja. Toh, dalamannya pakai celana pendek kain model Eddie Vadder, yang setelah konser sempat dikomentari oleh Yadi, kenapa gak dari tadi saja saya pakai stelan demikian.

Dan aksi Pas Band dimalam Pesta Pelajar 1995 itupun berakhir pada pukul 9 lebih...

**
Pertemuan saya dengan Richard Mutter dan Samuel Marudut, aksi Paser generasi awal yang super-heboh di malam Pesta Pelajar ketika saya justru baru memasuki tahun pertama sebagai mahasiswa itu, adalah sekelumit kenangan indah dalam kisah persahabatan saya dengan alm. Yadi SS. Yadi, selain penggemar berat Arry Yanvar Roxx dan Ossa Ahmad Voodoo, adalah penggemar berat Richard Mutter, semenjak sang drummer ‘icikibung’ di dunia musik rock bersama, Sahara, hingga Pas Band. Yadi pernah berhari-hari ngulik teknik yang ditampilkan Richard, saat ia bermain di lagu “Dunia”, lagu yang ia mainkan bersama Sahara, dan membuat ia didapuk sebagai penerima anugerah Best Drummer dari Festival Rock Indonesia versi Log Zhelebour, tahun 1993. Ketika kami sudah tidak rutin nge-band, ketika album Indie (V) Duality keluar, alm.Yadi sempat memaksa saya untuk membawakan nomor-nomor Deskripsi, Anak Kali Sekarang, Schiebung Des Madchen, pada kesempatan iseng-iseng latihan di studio. Saya bilang, “hese...”, susah, sehingga jadi malas untuk ngulik lagu-lagu itu. Sobat yang sudah saya anggap saudara kandung itu sempat menolak berbicara atau berhandai-handai seperti biasa, ketika saya dengan halus menolak permintaannya. Penolakan yang sempat bikin saya menyesal juga, disaat saya mengenang saat-saat ia menyampaikan keinginannya, waktu hari pemakaman sobat saya tersebut pada medio awal tahun 2000. Seingat saya, sebelum wafatnya, kami pernah membahas soal isyu yang menyeruak bahwa, Richard Mutter cabut dari Pas Band. Seperti ia kesal waktu saya enggan membawakan beberapa materi dari Indie (V) Duality secara iseng di studio latihan, ia juga sempat kesal dan berseloroh, kalau suatu saat Pas Band bikin album tanpa Richard Mutter didalamnya, ia gak akan pernah mau denger atau beli album Pas Band lagi. Seorang teman, yang sempat mendengar alm.Yadi SS berseloroh demikian, menimpali,”ah, sakituna maneh...”(ah, sebegitunya kamu). Dengan tegas Yadi menjawab timpalan itu,”nya enya lah, urang jeung si edi teh Paser kahiji di kolong langit. Ceuk Samuel Marudut tah. Kaset ieu jeung Richard Mutter, saksina.”(ya, iyalah, saya sama edi kan paser pertama di muka bumi. Kata Samuel Marudut itu. Kaset ini dan Richard Mutter, saksinya)-jawab almarhum sambil mengambil lalu menyodorkan cover dalam mini album, 4 Through The Sap, yang memuat Richard Mutter signature dengan tanda waktu Februari’94. Saya sungguh tidak menyangka, sahabat dan saudara, yang tidak hanya mendampingi saya waktu menyalurkan hobi nge-band, tapi juga menjadi orang pertama yang memberikan saya teladan shalat berjamaah itu, pada akhirnya memang benar-benar tidak pernah mendengar kiprah Pas Band pada era 2001 hingga sekarang ini. Tapi, kalau dia tahu Sandy Andarusman yang menggantikan Richard Mutter, tampaknya dia nggak bakalan semarah waktu dengar Richard Mutter cabut dari Pas Band. Soalnya, Yadi-pun menyukai teknik repel Sandy, terutama pada bridge lagu hits U’Camp, bertajuk Bayangan.”Drummer U’Camp teh rapih repel jeung sound snare-na nya, Di...”begitu katanya, pada suatu sore di loteng saya, selesai mendengar album U’Camp ke-3, yang memuat salah satu lagu cadas Indonesia favorit saya, bertajuk : Pergi.
sumber : rockabilia.blogspot.com

Baca Selengkapnya »»